Hallo para cowboy dan cowgirl... .kali ini saya
akan bercerita sedikit yang agak serem , tapi jangan takut ini buat
nambah pengetahuan kalian aja kok. Yang merasa Penakut jangan melihat gambarnya
ya nanti malah gak bisa tidur lagi , dan akhirnya ketua kelas yang kena .. oke oke ayo
kita langsung ke topik pembahasan.. Kali ini saya akan bercerita Tentang desa “Trunyan”
di kintamani, Bali
Trunyan
merupakan satu dari tiga Suku Bali asli [Bali Aga], yaitu suku yang ada dibali
sebelum Jaman Majapahit dan sebelum gelombang pengungsian warga kerajaan
Majapahit terakhir yang menolak menjadi Muslim [hijrah ke Bali]. Dua suku Bali
asli lainnya adalah Suku Tenganan di Karang Asem [Smarapura] dan Suku Yeh Tipat
di Singaraja. Trunyan termasuk di lingkup Kabupaten Bangli.
Suku Trunyan, punya tiga cara unik menangani mayat, diupacarai yang setara dengan upacara ngaben di tempat lain:
Untuk yang meninggal adalah Bayi, maka mayatnya dikubur, lokasinya disebut Sema Muda, kira-kira 200 meter-an ke sebelah kanan lagi namun sebelum desa trunyan dari arah sekarang ini.
Untuk yang meninggal adalah orang yang kecelakaan, dibunuh atau bukan karena mati normal. Maka mereka anggap itu mempunyai kesalahan besar. Lokasi mereka dikubur [Sema bantas] adalah di perbatasan antara desa Trunyan dan Desa abang. Letaknya Jauh dari tempat kami sekarang.
Untuk yang mati normal, Mayat mereka diberi kain putih dan hanya diletakan di bawah Taru Menyan [Pohon wangi]. Maksudnya mati normal adalah tidak punya salah/kesalahan sesuatu, di luar kreteria di atas.
Mayat itu diletakkan di atas tanah dengan lubang yang sangat dangkal [kira-kira 10 - 20 cm]. Tujuannya supaya tidak bergeser-geser [karena bidang tanah di tempat itu tidaklah dapat disebut datar]. Jumlah maksimum mayat yang diperkenankan ada di bawah pohon taru menyan adalah 11 mayat. Alasannya adalah mayat yang ke 12 dan seterusnya, akan berbau. Baunya kadang-kadang ada, kadang-kadang tidak.
Bisa jadi itu disebabkan keterbatasan bau yang dapat diserap oleh taru menyan tersebut, yaitu kurang lebih sekitar 11 x 60 kg [asumsi berat rata-rata mayat] = 660 kg. Sehingga untuk menyerap mayat berikutnya menjadi tidak maksimal.
Suku Trunyan, punya tiga cara unik menangani mayat, diupacarai yang setara dengan upacara ngaben di tempat lain:
Untuk yang meninggal adalah Bayi, maka mayatnya dikubur, lokasinya disebut Sema Muda, kira-kira 200 meter-an ke sebelah kanan lagi namun sebelum desa trunyan dari arah sekarang ini.
Untuk yang meninggal adalah orang yang kecelakaan, dibunuh atau bukan karena mati normal. Maka mereka anggap itu mempunyai kesalahan besar. Lokasi mereka dikubur [Sema bantas] adalah di perbatasan antara desa Trunyan dan Desa abang. Letaknya Jauh dari tempat kami sekarang.
Untuk yang mati normal, Mayat mereka diberi kain putih dan hanya diletakan di bawah Taru Menyan [Pohon wangi]. Maksudnya mati normal adalah tidak punya salah/kesalahan sesuatu, di luar kreteria di atas.
Mayat itu diletakkan di atas tanah dengan lubang yang sangat dangkal [kira-kira 10 - 20 cm]. Tujuannya supaya tidak bergeser-geser [karena bidang tanah di tempat itu tidaklah dapat disebut datar]. Jumlah maksimum mayat yang diperkenankan ada di bawah pohon taru menyan adalah 11 mayat. Alasannya adalah mayat yang ke 12 dan seterusnya, akan berbau. Baunya kadang-kadang ada, kadang-kadang tidak.
Bisa jadi itu disebabkan keterbatasan bau yang dapat diserap oleh taru menyan tersebut, yaitu kurang lebih sekitar 11 x 60 kg [asumsi berat rata-rata mayat] = 660 kg. Sehingga untuk menyerap mayat berikutnya menjadi tidak maksimal.
Walaupun
mayat itu mati normal sekalipun, namun jika tidak sepenuhnya bersih dalam
artian bersih dari kesalahan, maka bau mayat akan tetap ada walaupun
tempo-tempo ada dan tempo-tempo tidak. Bukan cuma itu, mayat yang ‘ada
kesalahan’ itu, lebih cepat busuk dari mayat yang lain [rata-rata pembusukan
normal adalah 2 bulanan].
Penjelasan mengapa mayat yang menggeletak begitu saja di sema itu tidak menimbulkan bau padahal secara alamiah, tetap terjadi penguraian atas mayat-mayat tersebut ini disebabkan pohon Taru Menyan tersebut, yang bisa mengeluarkan bau harum dan mampu menetralisir bau busuk mayat. Taru berarti pohon, sedang Menyan berarti harum. Pohon Taru Menyan ini, hanya tumbuh di daerah ini. Jadilah Tarumenyan yang kemudian lebih dikenal sebagai Trunyan yang diyakini sebagai asal usul nama desa tersebut.
Penjelasan mengapa mayat yang menggeletak begitu saja di sema itu tidak menimbulkan bau padahal secara alamiah, tetap terjadi penguraian atas mayat-mayat tersebut ini disebabkan pohon Taru Menyan tersebut, yang bisa mengeluarkan bau harum dan mampu menetralisir bau busuk mayat. Taru berarti pohon, sedang Menyan berarti harum. Pohon Taru Menyan ini, hanya tumbuh di daerah ini. Jadilah Tarumenyan yang kemudian lebih dikenal sebagai Trunyan yang diyakini sebagai asal usul nama desa tersebut.
Gimana temen temen penasaran gak? Kalau kalian
sudah bosan ke kuta, tanjung benoa, bedugul, tanah lot dan lain lain , coba kalian
kunjungi desa trunyan ini dijamin mengasyikan dan sedikit menyeramkan sih..oke
sekian dulu postingan kali ini.. sampai ketemu pada postingan berikutnya ;)
Sumber : http://ceritapendekhoror.blogspot.com/2012/06/misteri-makam-di-desa-trunyan.html
be, fotonya horrorrrrrrrrr ._.
BalasHapusbakat menulis kamu bagus, asah dan asih terus ya.... salam kenal
BalasHapus